Gue lupa kapan terakhir kali liburan tanpa jadwal ketat, tanpa harus buru-buru, dan bisa menikmati perjalanan sepelan yang gue mau. Tapi weekend kemarin, semuanya berubah. Gue dan tiga teman nekat ngajak diri sendiri buat road trip ke salah satu destinasi yang katanya masih “perawan” dan belum terlalu ramai—Pantai Pink di Lombok Timur.
Dari dulu gue udah penasaran sama pantai ini. Bukan cuma karena warnanya yang unik, tapi juga karena lokasinya yang agak terpencil dan butuh usaha buat sampai ke sana. Tapi justru itu yang bikin seru: perjalanan menuju ke sananya. Dan ternyata, road trip ke Pantai Pink bukan cuma soal pantai, tapi soal petualangan jalanan yang penuh kejutan.
Awal Perjalanan: Peta, Playlist, dan Perut Kenyang
Pagi-pagi kami kumpul di Mataram, isi bensin penuh, sarapan lontong balap, dan siapin playlist favorit. Karena nggak semua dari kami pernah ke Lombok Timur sebelumnya, kami sepakat pakai sopir lokal yang udah ngerti seluk-beluk daerah sana. Mobil kami sewa lewat Lombok transport, dan jujur aja itu salah satu keputusan paling tepat selama trip ini.
Sopir kami, namanya Pak Darto, orangnya ramah, banyak cerita, dan hafal tikungan demi tikungan. Di tengah jalan, dia bahkan sempat nunjukin spot kuliner khas yang nggak ada di Google—tempat jual nasi balap daging asap yang katanya cuma ada di desa sebelah Jerowaru. Kami berhenti sejenak, makan sambil ngelihatin sawah dan nyeruput kopi hitam panas. Baru setengah perjalanan, tapi rasanya udah kayak liburan total.
Jalanan Lombok Timur: Sepi Tapi Indah
Begitu masuk area Lombok Timur, suasananya berubah. Jalanan makin sepi, pemandangan makin liar. Bukit-bukit terbuka, padang ilalang, kerbau merumput bebas, dan sesekali rumah-rumah panggung kayu berdiri di tengah ladang. Mobil kami melaju pelan, kadang berhenti sekadar buat foto di spot yang kelihatan menarik.
Kami lewati jalan berbatu, tanjakan curam, dan jembatan kecil yang bikin jantung deg-degan. Tapi semua itu dibayar lunas sama panorama yang bikin mata segar terus. Sesekali, laut mulai terlihat di kejauhan. Gradasi biru kehijauan yang berkilau di bawah matahari siang. Kami semua mulai heboh—“Itu dia Pantai Pink-nya?”
Belum. Masih belok-belok sedikit. Tapi itu bikin kami makin semangat.
Tiba di Pantai Pink: Cantiknya Nggak Main-Main
Setelah hampir empat jam perjalanan (dengan beberapa kali berhenti makan, foto, dan ngobrol sama warga lokal), akhirnya kami sampai di tujuan. Pantai Pink. Pas turun dari mobil dan lihat langsung pasirnya, gue cuma bisa bilang, “Wah.”
Warnanya beneran beda. Bukan merah kayak stroberi, tapi lebih ke putih pucat yang dicampur dengan serbuk merah muda halus. Dan kalau disinari matahari, warnanya makin terlihat. Air lautnya? Jernih, tenang, dan tenang banget.
Nggak banyak orang. Mungkin karena belum banyak transportasi umum ke sini, jadi lebih sering dikunjungi sama wisatawan yang memang niat road trip atau ikut trip lokal. Kami jalan kaki menyusuri pantai, duduk di atas batu karang, dan ada yang langsung nyebur karena nggak tahan lihat air sebening itu.
Aktivitas Seru di Pantai Pink
Yang paling kami nikmati adalah snorkeling di ujung kiri pantai. Nggak perlu perahu, cukup jalan kaki dari bibir pantai, dan langsung ketemu spot karang yang dipenuhi ikan warna-warni. Teman gue bawa kacamata snorkeling sendiri, dan kami gantian pakai. Seru banget lihat kehidupan bawah laut yang masih alami.
Setelah puas main air, kami cari tempat teduh di bawah pohon dan gelar tikar. Makan bekal, rebahan, ngobrol ngalor-ngidul. Nggak ada sinyal, nggak ada notifikasi, cuma suara ombak dan angin laut. Rasanya tenang, damai, dan bikin nggak pengen pulang.
Bertemu Warga Sekitar: Bonus Pengalaman Tak Terduga
Saat kami hendak pulang, datang sekelompok anak-anak lokal yang main bola di pasir. Mereka ramah, langsung ngajak ngobrol dan nanya dari mana. Salah satu dari mereka malah tunjukin bukit kecil di sisi timur pantai yang katanya punya spot foto paling keren. Kami pun ikut mereka naik, dan bener aja—dari atas bukit itu, Pantai Pink terlihat jelas membentuk lengkungan sempurna dengan warna laut yang mencolok.
Anak-anak itu bilang, mereka sering bantu wisatawan jadi “guide dadakan.” Tapi buat kami, mereka lebih dari itu—mereka penunjuk arah menuju momen tak terlupakan.
Perjalanan Pulang: Sunset di Jalan
Kami pulang menjelang sore. Langit mulai berubah warna, dari biru ke jingga, lalu ke ungu lembut. Kami putar lagu pelan, semua mulai diam, menikmati sisa-sisa perjalanan. Mobil melaju di jalur sepi, dan kami semua tahu, ini bukan sekadar road trip. Ini cerita. Ini kenangan.
Sopir kami bawa kami pulang lewat jalur yang sedikit berbeda, lewat desa-desa yang belum pernah kami lewati. Di salah satu titik, kami berhenti untuk beli es kelapa. Rasanya sederhana, tapi nikmatnya luar biasa setelah seharian panas-panasan.