Wisata Sejarah Seru di Tetebatu: Meresapi Warisan Leluhur di Kaki Rinjani

Kadang, tempat yang terlihat sederhana justru menyimpan banyak cerita. Begitu juga dengan Tetebatu, desa kecil di kaki Gunung Rinjani yang sering dijuluki “Ubud-nya Lombok” karena suasananya yang damai dan asri. Tapi bagi saya, daya tarik Tetebatu lebih dari sekadar sawah dan udara segar. Ia menyimpan napas sejarah.

Perjalanan saya kali ini bukan hanya untuk melepas penat, tapi juga untuk menyelami masa lalu yang masih terasa hidup. Dan Tetebatu, dengan keramahan warga dan peninggalan budayanya, memberikan pengalaman yang sulit dilupakan.

Menyusuri Jalan Menuju Tetebatu

Perjalanan saya dimulai dari Mataram, pagi hari sekitar pukul 7. Jalanan masih lengang. Saya memutuskan menggunakan layanan transport Lombok murah yang disarankan teman. Sopirnya bukan hanya cekatan, tapi juga fasih bercerita tentang sejarah desa-desa yang kami lewati.

Dalam perjalanan menuju Tetebatu, kami melintasi Pringgasela, yang terkenal dengan tenunnya, dan melewati beberapa bangunan tua yang katanya dulu bekas pos penjagaan zaman kolonial. Ini baru awal, tapi saya sudah merasa seperti sedang menonton film dokumenter sejarah, langsung dari dalam mobil.

Tiba di Tetebatu: Damai, Sejuk, dan Penuh Cerita

Setibanya di Tetebatu, saya disambut oleh deretan pohon besar dan aliran sungai kecil yang jernih. Udaranya segar. Tidak ada suara klakson atau mesin besar—hanya suara alam dan langkah kaki warga yang santai.

Namun, di balik tenangnya desa ini, tersimpan cerita panjang soal kehidupan masyarakat zaman dulu—tentang kolonialisme, spiritualitas, hingga pertahanan adat.

Rumah Tradisional yang Menjadi Saksi Zaman

Salah satu pemberhentian pertama saya adalah rumah tua milik salah satu tokoh adat di Tetebatu. Rumah ini berdiri di antara pepohonan dan kebun warga, dikelilingi oleh pagar bambu sederhana.

Struktur rumahnya terbuat dari kayu jati dan atapnya dari ijuk. Di dalam rumah, saya melihat perabotan kuno yang masih digunakan hingga hari ini. Pemilik rumah menjelaskan bahwa rumah ini telah berdiri sejak era Belanda dan pernah dijadikan tempat rapat tokoh adat saat zaman penjajahan.

Saya menyentuh salah satu tiang kayunya—kasar, kuat, dan dingin. Rasanya seperti menyentuh potongan waktu.

Masjid Kuno yang Masih Aktif

Tak jauh dari rumah tersebut, saya diajak mengunjungi masjid tua di tengah desa. Meski kecil, masjid ini menjadi tempat penting dalam perkembangan Islam di wilayah Tetebatu.

Menurut cerita warga, masjid ini dibangun sekitar tahun 1800-an oleh ulama lokal yang dulu berdakwah secara door to door ke rumah warga. Atapnya masih terbuat dari genteng tanah liat dan dindingnya dari anyaman bambu yang diperkuat dengan balok kayu.

Saya duduk sejenak di beranda masjid, menikmati keheningan dan membayangkan suasana masa lalu ketika azan dikumandangkan tanpa pengeras suara dan warga datang dengan berjalan kaki dari segala arah.

Peninggalan Kolonial: Jalur Lama dan Jembatan Batu

Salah satu spot menarik yang tak disangka-sangka saya temukan adalah sebuah jembatan batu kecil di ujung desa. Terlihat sederhana, namun struktur dan bentuknya berbeda dari jembatan biasa.

Sopir saya menjelaskan, jembatan ini dulu merupakan bagian dari jalur transportasi yang dibuat Belanda untuk mengangkut hasil bumi dari lereng Rinjani ke pusat kota.

Jalur lama ini sekarang lebih sering dilalui petani dan pejalan kaki, tapi sejarahnya tetap hidup. Saya berjalan menyusuri jalur itu beberapa meter, membayangkan bagaimana kuda dan gerobak pernah melewatinya, membawa hasil panen seperti kopi dan cengkeh.

Cerita di Balik Kebun: Kebun sebagai Warisan Budaya

Tetebatu juga dikenal dengan pertanian organik dan sistem kebun yang diwariskan turun-temurun. Tapi siapa sangka, kebun-kebun ini dulunya juga menjadi bagian dari pertahanan budaya saat masa penjajahan.

Warga lokal sengaja menanam tanaman obat dan tanaman keras di sekitar rumah sebagai benteng alami jika terjadi penyerangan.

Saya sempat berbincang dengan seorang petani tua yang sedang memanen jahe. Ia bercerita bahwa ayahnya dulu ikut bersembunyi di kebun saat Belanda datang memungut pajak. Cerita yang terdengar seperti dongeng, tapi penuh makna.

Belajar Sejarah Lewat Tenun dan Lagu Rakyat

Sore harinya, saya mampir ke rumah seorang penenun yang juga merupakan pelestari lagu rakyat Tetebatu. Ia menyambut saya sambil menenun dan menyanyikan lagu-lagu lama yang dulu digunakan sebagai media penyampai pesan pada masa kolonial.

Motif tenun yang dibuat pun bukan sembarangan. Beberapa motif hanya digunakan oleh keluarga pemangku adat dan memiliki arti khusus, seperti lambang perlindungan atau harapan panen melimpah.

Melihat proses menenun sekaligus mendengar kisah di balik motif membuat saya sadar: sejarah tidak hanya hidup di buku, tapi juga di selembar kain.

Mengapa Tetebatu Layak Jadi Destinasi Wisata Sejarah?

Tetebatu menawarkan pengalaman yang lebih mendalam. Tidak hanya menyajikan keindahan alam, tapi juga memperkenalkan kita pada nilai, warisan, dan jejak leluhur yang masih dijaga hingga kini.

Saya merasa bukan hanya sedang liburan, tapi juga belajar. Tidak melalui teori, tapi melalui interaksi langsung dengan orang-orang yang menjadi bagian dari cerita itu sendiri.

Dan perjalanan seperti ini jadi jauh lebih nyaman saat didukung oleh layanan yang tidak sekadar mengantar, tapi juga memperkaya perjalanan dengan cerita-cerita lokal yang tak bisa kamu temukan di internet.